New Post: Politik Anggaran dan Pengaruhnya pada Dana Bansos dalam Pembangunan Sosial-Ekonomi Read

Tantangan Sistem Pendidikan: Ketika Pendidikan Dipandang Sebagai Barang Dagangan

Komodifikasi pendidikan dalam konteks Marxisme strukturalis, menyoroti dampaknya terhadap ketidaksetaraan, otoritarianisme, dan privatisasi.
11 mins Read
Tantangan Sistem Pendidikan: Ketika Pendidikan Dipandang Sebagai Barang Dagangan
image: https://cdn.jsdelivr.net/gh/ajax-jquery/asset.sabdaliterasi.shop/main/2024-02-06-tantangan-sistem-pendidikan-ketika-pendidikan-dipandang-sebagai-barang-dagangan.jpg
Daftar Isi

Pentingnya pendidikan dan bagaimana pasar memengaruhi cara pendidikan disajikan dalam beberapa dekade terakhir menjadi perhatian banyak orang. Artikel ini menjelaskan dengan kritis dampak ketika pendidikan dianggap sebagai barang dagangan berdasarkan pemikiran filsafat Marxisme strukturalis.

Melalui pandangan ini, kita melihat dampaknya terhadap ketidaksetaraan pendidikan, fokus pada keuntungan daripada tujuan pendidikan, penyempitan kurikulum, komersialisasi riset, kontradiksi dalam memperlakukan pendidikan sebagai barang publik, dan pengasingan sosial manusia.

Selain itu, artikel ini menyebutkan bahwa kebijakan publik yang bersifat neoliberal juga berkontribusi pada penguatan otoritarianisme negara dalam konteks pendidikan.

Menyelidiki Komodifikasi Pendidikan

Dalam produksi kapitalis, konsep 'fetisisme komoditas' atau 'misteri bentuk komoditas' yang dijelaskan oleh Marx adalah tentang bagaimana sistem ekonomi kapitalis menyembunyikan hubungan sosial di balik barang-barang yang dihasilkan. Komodifikasi ini mencakup normalisasi perubahan dalam cara kita memproduksi dan mengonsumsi barang sehari-hari, serta proses lebih luas yang terkait dengan sistem kapitalisme dan tantangannya. Ini mendorong perusahaan untuk mencari pasar baru, mengembangkan produk baru, dan mencari cara baru untuk menghasilkan keuntungan. Contoh jelasnya adalah institusi pendidikan swasta yang, karena fokus pada keuntungan, cenderung memotong biaya yang dapat mengorbankan kualitas pendidikan. Ketika pendidikan menjadi barang dagangan, keuntungan finansial lebih diutamakan daripada memberikan pendidikan yang berkualitas.

Implikasi dari komodifikasi juga cenderung menyempitkan kurikulum, mengutamakan mata pelajaran dan disiplin ilmu yang sesuai dengan kebutuhan pasar dan mendevaluasi ilmu humaniora, seni, dan ilmu sosial.

Penekanan fokus terhadap pengajaran keterampilan yang dapat dipasarkan mempersempit pemahaman siswa pada pendidikan menyeluruh. Ini merusak pemikiran kritis, kesadaran sosial, apresiasi budaya, dan membatasi kemampuan mereka untuk terlibat dengan masalah sosial yang kompleks, serta menghambat potensi mereka untuk pertumbuhan pribadi dan partisipasi masyarakat.

Pendidikan biasanya dianggap sebagai barang publik yang memberikan manfaat kepada masyarakat secara keseluruhan (Anomali, 2018).

Namun, Shaw (2010) menyebutkan bahwa pendidikan juga dapat dianggap sebagai barang publik yang memiliki kekurangan, karena sifatnya yang memenuhi kepentingan kolektif masyarakat. Ketika pendidikan dijadikan komoditas, fokusnya beralih kepada kebutuhan individu dan persaingan pasar, yang mengancam gagasan bahwa pendidikan seharusnya menjadi sarana untuk mengembangkan warga negara yang terinformasi dan aktif.

Konflik antara komodifikasi pendidikan dan tujuan sosialnya menghambat solidaritas sosial, nilai-nilai demokrasi, dan pencapaian tujuan pendidikan publik yang lebih luas.

Tantangan dan Implikasi

Hubungan antara warisan otoritarianisme dan neoliberalisme di Indonesia telah membentuk kerangka kerja untuk sistem pendidikan dan mempengaruhi perilaku kelompok dan individu, termasuk para akademisi, agar sesuai dengan kebijakan negara yang otoriter (Laksana, 2023).

Penerapan pembatasan terhadap diskusi, terutama dalam konteks politik sayap kiri yang memicu penggunaan self-censorship di antara para akademisi, mencerminkan pengaruh baru dari kecenderungan otoriter.

Sementara itu, kebijakan pendidikan negara secara aktif memperkuat ideologi neoliberalisme, mengubah institusi pendidikan dan individu menjadi subjek yang sangat individualis dan bertanggung jawab yang dipacu oleh kepentingan pasar.

Dampaknya adalah restrukturisasi sistem pendidikan yang menghasilkan angkatan kerja yang hanya fokus pada kebutuhan individu untuk bertahan hidup, yang sering disebut sebagai ekonomi subsistensi.

Meskipun mungkin terlihat bertentangan, neoliberalisme dan otoritarianisme memiliki hubungan tersembunyi di Indonesia. Neoliberalisme menekankan kebebasan individu namun sering merusak nilai-nilai demokrasi sosial seperti kesetaraan, demokrasi, dan solidaritas, seperti yang dijelaskan oleh David Harvey (2007) dalam bukunya A Brief History of Neoliberalism.

Penerapan kebijakan neoliberal, termasuk melalui cara otoriter dalam pengesahan Omnibus Law, menunjukkan perlunya kekuatan negara untuk melaksanakan reformasi tersebut. Pembenaran atas kebijakan-kebijakan tersebut, yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi, baik secara tidak sengaja maupun sengaja, telah mendorong Indonesia menuju otoritarianisme.

Ini tercermin dalam kecenderungan pemerintah yang semakin besar untuk mengatur kerja akademisi dengan menggunakan seperangkat ukuran kinerja yang ditentukan oleh agenda neoliberal.

Menurut Giroux (2002), ideologi ini merupakan ancaman serius terhadap kemajuan nilai-nilai demokrasi seperti otonomi individu, kesetaraan, dan kebebasan. Ide-ide neoliberal, terutama yang terkait dengan New Public Management (NPM) yang mendorong prinsip-prinsip bisnis dalam pendidikan tinggi, menggunakan bahasa korporat seperti kompetisi, nilai uang, jaminan kualitas, pemantauan, evaluasi, audit, dan akuntabilitas.

Istilah-istilah ini, hingga batas tertentu, mengubah lingkungan pendidikan tinggi dari arena demokrasi yang seharusnya memelihara nilai-nilai demokrasi, kewarganegaraan, dan kebaikan bersama atau publik.

Jika kita menggali lebih dalam, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Indikator Utama Kinerja Perguruan Tinggi Negeri (IK-PTN) melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 754/P/2020, yang menunjukkan bahwa kebijakan neoliberal telah merambah ke ranah pendidikan tinggi (Kemendikbud, 2020).

Panduan tersebut mengenalkan pendanaan berbasis kinerja dan langkah-langkah akuntabilitas, yang menghubungkan dana dengan pencapaian tertentu seperti hasil penelitian, publikasi di jurnal internasional, dan tingkat partisipasi mahasiswa. Ini dimaksudkan untuk mendorong kompetisi antar perguruan tinggi dengan memberikan insentif kepada mereka yang meningkatkan kinerjanya untuk mendapatkan lebih banyak dana.

Lebih lanjut, kebijakan ini telah memengaruhi perilaku kelompok dan individu, termasuk akademisi, untuk beradaptasi dengan negara otoriter. Para akademisi menciptakan pengetahuan mereka agar sejalan dengan harapan rezim otoriter neoliberal yang tengah berkembang.

Dalam konteks ini, pengetahuan yang diproduksi dalam lingkungan otoriter neoliberal mengurangi hak-hak ekonomi dan politik rakyat, sehingga mempertahankan kekuasaan negara. Dengan mengontrol mereka yang menciptakan pengetahuan, negara memperkuat kontrol atas pengetahuan itu sendiri.

Kelompok-kelompok yang berkuasa memperkuat posisi mereka dengan memanfaatkan pengetahuan yang mendukung legitimasi mereka. Tanpa kontrol atas pengetahuan yang sah, aturan hegemonik, termasuk di Indonesia, berisiko mengalami destabilisasi.

Ben C. Laksana (2023) menyatakan bahwa campuran warisan otoriter dan kebijakan neoliberal di Indonesia memiliki dampak yang signifikan terhadap sistem pendidikan dan perilaku akademisi. Meskipun terlihat bertentangan, interaksi antara otoritarianisme dan neoliberalisme mengungkapkan hubungan tersembunyi di antara keduanya. Kebijakan neoliberal mendorong konformitas dan mengarahkan perilaku kelompok dan individu, termasuk akademisi, agar sesuai dengan negara otoriter.

Upaya untuk mengonsolidasi kekuasaan melalui kontrol atas produksi pengetahuan ini mendukung otoritas negara dan mengurangi hak-hak ekonomi dan politik. Menyadari dan menangani implikasi dari dinamika yang saling terkait ini sangat penting untuk memajukan lingkungan pendidikan yang lebih demokratis dan adil di Indonesia.

Privatisasi dan Marketisasi Pendidikan

Privatisasi dan marketisasi pendidikan menciptakan dua tingkat sistem di mana akses terhadap pendidikan yang berkualitas bergantung pada kekayaan ekonomi.

Sekolah swasta melayani individu yang berada dalam kondisi keuangan yang baik, sedangkan sekolah umum sering mengalami kekurangan dana yang parah. Situasi ini menegaskan pembagian kelas, membatasi pergerakan sosial, dan memperkuat dominasi kelas tertentu.

Di Indonesia, sistem pendidikan ditandai oleh perbedaan yang besar dalam aksesibilitas, mutu, dan sumber daya, yang diperburuk oleh pendekatan yang berorientasi pasar terhadap pendidikan. Pertama, privatisasi dan marketisasi pendidikan di Indonesia telah menciptakan sistem dua tingkat.

Sekolah swasta, yang umumnya melayani kelompok sosial yang lebih mampu, menawarkan fasilitas, sumber daya, dan kualitas pengajaran yang lebih baik daripada sekolah negeri.

Ini menciptakan perpecahan di mana mereka yang memiliki kemampuan finansial dapat memperoleh akses ke pendidikan berkualitas, sedangkan mayoritas penduduk, terutama yang berasal dari latar belakang ekonomi rendah, terbatas dalam pilihan dan kesempatan pendidikan yang standarnya rendah.

Selanjutnya, komodifikasi pendidikan di Indonesia telah mengakibatkan peningkatan layanan bimbingan belajar privat, yang semakin memperbesar kesenjangan pendidikan. Keluarga yang lebih mampu dapat mendaftarkan anak-anak mereka di kelas tambahan ini, memberikan mereka keuntungan tambahan dalam prestasi akademis.

Dampaknya adalah terciptanya siklus di mana siswa dari latar belakang khusus mendapat keuntungan dalam akses ke pendidikan tinggi dan peluang pekerjaan yang lebih baik, yang memperkuat hierarki sosial yang ada.

Motif mencari keuntungan dalam komodifikasi sistem pendidikan di Indonesia juga memengaruhi kurikulum dan prioritas pendidikan. Sekolah dan institusi swasta sering kali lebih memilih mata pelajaran dan keterampilan yang dianggap lebih mudah dipasarkan atau sesuai dengan kebutuhan industri, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, teknik, dan matematika (STEM).

Pilihan ini mengesampingkan pengembangan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan pemahaman tentang ilmu sosial, yang esensial untuk pendidikan yang holistik dan pembentukan warga negara yang aktif terlibat dan mampu menghadapi tantangan sosial.

Selanjutnya, ketergantungan pada hasil tes sebagai indikator keberhasilan pendidikan memperkuat ketidaksetaraan dalam sistem pendidikan Indonesia. Siswa dari latar belakang ekonomi yang kurang mendukung sering mengalami kesulitan tambahan dalam mengakses pendidikan berkualitas dan sumber daya yang diperlukan untuk berhasil dalam ujian standar.

Hal ini menopang sistem di mana status sosial-ekonomi secara signifikan memengaruhi hasil pendidikan dan berperan dalam mempertahankan ketidaksetaraan sosial yang ada.

Dampak Ketidaksetaraan Akses Pendidikan

Teori Marx tentang keterasingan sosial memberikan landasan yang kokoh untuk memahami dampak yang mendasar dari ketidaksetaraan akses terhadap pendidikan.

Pendidikan bukan hanya sebagai sarana untuk perkembangan individu; itu juga merupakan mekanisme kunci dalam mempertahankan struktur sosial dan memperkuat pembagian kelas dalam masyarakat yang didominasi oleh sistem kapitalis.

Ketika individu atau kelompok tertentu secara konsisten diberikan akses yang tidak merata ke pendidikan, hal ini menghasilkan berbagai bentuk keterasingan yang mencerminkan gagasan Marx tentang keterasingan dalam konteks tenaga kerja, identitas diri, dan hubungan dengan sesama manusia.

Pertama-tama, menurut Profesor Eleanor Fisher (2007), ketidaksetaraan dalam akses pendidikan dapat memperdalam keterasingan individu terhadap pekerjaan mereka (Fisher 2007; Elliott, 1999). Pendidikan memiliki peran signifikan dalam menentukan peluang kerja dan potensi penghasilan seseorang di masa mendatang.

Ketika akses terhadap pendidikan berkualitas tidak didistribusikan secara adil, individu dari lapisan masyarakat yang terpinggirkan atau memiliki latar belakang sosial-ekonomi rendah menghadapi hambatan yang lebih besar untuk memperoleh keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk pekerjaan yang bermakna dan memuaskan.

Dampaknya, mereka terbatas dalam kesempatan kerja, menerima upah yang lebih rendah, dan mengalami ketidakpastian pekerjaan yang meningkat, yang semuanya berkontribusi pada perasaan terasing dan eksploitasi ekonomi mereka.

Kedua, menurut Paulo Freire (1985), ketidaksetaraan dalam akses pendidikan menyebabkan keterasingan individu dari diri mereka sendiri. Pendidikan tidak hanya tentang memperoleh pengetahuan; itu merupakan proses transformasi yang membentuk identitas, harga diri, dan aspirasi seseorang.

Ketika kelompok-kelompok tertentu secara konsisten tidak diberikan kesempatan pendidikan yang sama, mereka tidak dapat mengembangkan potensi intelektual dan kreatif mereka sepenuhnya.

Situasi ini semakin memperdalam keterasingan yang dialami oleh individu yang terpinggirkan karena mereka diabaikan dari jaringan sosial, kesempatan, dan interaksi yang penting untuk integrasi sosial, partisipasi kolektif, dan rasa memiliki yang saling terhubung.

Kesimpulan

Untuk mengatasi tantangan ini, penulis merekomendasikan evaluasi mendalam terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Evaluasi ini harus memprioritaskan upaya untuk meratakan akses ke pendidikan berkualitas, menyediakan dana yang cukup untuk sekolah negeri, dan mengurangi pengaruh pasar dalam menentukan kebijakan pendidikan.

Hal ini juga memerlukan kurikulum yang lebih holistik, yang menghargai bidang humaniora, ilmu sosial, dan seni, serta mendorong pemikiran kritis, apresiasi budaya, dan kesadaran sosial.

Penolakan terhadap pemberian kesempatan pendidikan yang setara hanya akan memperkuat keterasingan individu dari pekerjaan mereka, identitas mereka sendiri, dan koneksi mereka dengan sesama manusia.

Untuk mengatasi keterasingan ini, sangat penting untuk menghadapi dan mengatasi hambatan-hambatan struktural yang menghalangi akses pendidikan. Ini termasuk memperjuangkan sistem pendidikan yang adil yang memberdayakan individu, mempromosikan pengembangan diri, dan memperkuat kohesi sosial.

Hanya melalui akses pendidikan yang merata, kita dapat mulai mengatasi keterasingan sistemik yang memperkuat ketidakadilan sosial dan menghalangi kemajuan manusia dalam masyarakat kapitalis.

Akhirnya, dengan menantang komersialisasi pendidikan, Indonesia dapat bekerja menuju sistem pendidikan yang lebih inklusif dan adil, yang berperan dalam transformasi masyarakat.

Daftar Pustaka

  • Abizadeh, Arash. "Democratic Theory and Border Coercion: No Right to Unilaterally Control Your Own Borders." Political Theory, vol. 36, no. 1, 2008, pp. 37–65.
  • Akita, T., & Miyata, S. "Urbanization, Educational Expansion, and Expenditure Inequality in Indonesia in 1996, 1999, and 2002." Journal of the Asia Pacific Economy, vol. 13, no. 2, 2008, pp. 147-167.
  • Anomaly, Jason. "Public Goods and Education." Philosophy and Public Policy, vol. 1, 2018, p. 12.
  • Bray, Mark. "Shadow Education in Asia and the Pacific: Features and Implications of Private Supplementary Tutoring." International Handbook on Education Development in Asia-Pacific, 2022, pp. 1-23.
  • Buchbinder, H. "The Market Oriented University and the Changing Role of Knowledge." Higher Education, vol. 26, no. 3, 1993, pp. 331-347.
  • Elliott, J. R. "Social Isolation and Labor Market Insulation: Network and Neighborhood Effects on Less-Educated Urban Workers." The Sociological Quarterly, vol. 40, no. 2, 1999, pp. 199-216.
  • Fisher, Eleanor. "Occupying the Margins: Labour Integration and Social Exclusion in Artisanal Mining in Tanzania." Development and Change, vol. 38, no. 4, 2007, pp. 735-760.
  • Freire, Paulo. The Politics of Education: Culture, Power, and Liberation. Greenwood Publishing Group, 1985.
  • Giroux, Henry. "The Corporate War against Higher Education." Workplace, vol. 9, 2002, pp. 103–117.
  • Harvey, David. A Brief History of Neoliberalism. Oxford University Press, USA, 2007.
  • Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Buku Panduan Indikator Kinerja Utama Perguruan Tinggi Negeri. Jakarta: Kemendikbud, 2020.
  • Laksana, Ben C. "Knowledge Production in the Age of Neoliberal Authoritarianism." Inside Indonesia, vol. 151, 2023. Link
  • Marx, Karl. Capital: A Critique of Political Economy (i): The Process of Capitalist Production. History of Economic Thought Books, 1867.
  • Salmi, Jamil. "Equity and Quality in Private Education: The Haitian Paradox." Compare: A Journal of Comparative and International Education, vol. 30, no. 2, 2000, pp. 163-178.
  • Savage, Glenn. "Neoliberalism, Education and Curriculum." Powers of Curriculum: Sociological Perspectives on Education, 2017, pp. 143-165.
  • Tomlinson, M. "Introduction: Graduate Employability in Context: Charting a Complex, Contested and Multi-faceted Policy and Research Field." Graduate Employability in Context: Theory, Research and Debate, 2017, pp. 1-40.
  • Thompson, F., & Miller, H. T. "New Public Management and Bureaucracy versus Business Values and Bureaucracy." Review of Public Personnel Administration, vol. 23, no. 4, 2003, pp. 328-363.

About Us

Platform yang menawarkan artikel dengan pemikiran filosofis mendalam, koleksi ebook eksklusif, dan layanan penyelesaian tugas kuliah dan sekolah yang terpercaya.

comments

🌟 Attention, Valued Community Members! 🌟

We're delighted to have you engage in our vibrant discussions. To ensure a respectful and inclusive environment for everyone, we kindly request your cooperation with the following guidelines:

1. Respect Privacy: Please refrain from sharing sensitive or private information in your comments.

2. Spread Positivity: We uphold a zero-tolerance policy towards hate speech or abusive language. Let's keep our conversations respectful and friendly.

3. Language of Choice: Feel free to express yourself in either English or Hindi. These two languages will help us maintain clear and coherent discussions.

4. Respect Diversity: To foster an inclusive atmosphere, we kindly request that you avoid discussing religious matters in your comments.

Remember, your contributions are valued, and we appreciate your commitment to making our community a welcoming place for everyone. Let's continue to learn and grow together through constructive and respectful discussions.

Thank you for being a part of our vibrant community! 🌟
Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.