image: https://www.pewartanusantara.com/wp-content/uploads/2021/02/Jacques-Derrida-Pewarta-Nusantara-scaled-scaled.jpg |
Daftar Isi
Manusia secara konsisten dihadapkan pada dualitas pilihan yang saling kontrast, seperti benar dan salah, baik dan buruk, indah dan tidak indah, atau pantas dan tidak pantas.
Pentingnya oposisi biner tersebut bagi manusia modern terletak pada kebutuhan mereka akan suatu kerangka nilai sebagai dasar untuk berpikir dan bertindak. Bayangkan apabila tidak ada kerangka nilai, dampaknya dapat menciptakan kekacauan dalam kehidupan manusia di bumi ini.
Namun, perlu diakui bahwa sebuah kerangka nilai tidak selalu membawa kontribusi positif terhadap harmoni manusia. Terkadang, malah terdapat kemungkinan bahwa suatu kerangka nilai justru dapat menjadi pembatas dalam kehidupan manusia.
Sebagai contoh, ketika seseorang meyakini bahwa A adalah benar, mereka cenderung menganggap bahwa yang tidak sejalan dengan A adalah salah. Begitu juga, jika seseorang menganggap bahwa B adalah baik, mereka mungkin kesulitan membuka pikirannya untuk menerima bahwa hal lain selain B juga dapat dianggap baik.
Dalam konteks ini, dapat disimpulkan bahwa suatu kerangka nilai mungkin menjadi kungkungan bagi manusia. Jika hal ini terjadi, pertanyaannya kemudian adalah siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas semua ini?
Berdasarkan teori kekuasaan Michel Foucault, lembaga sosiallah yang seharusnya memikul tanggung jawab tersebut. Lembaga sosial, seperti keluarga, agama, hukum adat, dan norma masyarakat, memiliki peran sentral dalam menciptakan suatu kerangka nilai yang pada dasarnya adalah klaim kebenaran.
Klaim kebenaran menjadi hasil dari rekayasa kebenaran yang dilakukan oleh lembaga-lembaga sosial yang memiliki kontrol atas pengetahuan dan wacana. Sebagai hasilnya, masyarakat mengadopsi apa yang dihasilkan dari pengetahuan dan wacana tersebut sebagai "kebenaran".
Untuk memberikan contoh, bayangkan seorang anak yang diwajibkan untuk tidur sebelum jam sembilan malam di rumahnya. Jika anak tersebut merasa berdosa karena tertidur setelah jam sembilan malam, hal ini mencerminkan bahwa anak tersebut telah menerima aturan yang dibuat oleh kekuasaan orang tuanya sebagai suatu "kebenaran". Dengan kata lain, anak tersebut merasa bersalah ketika melanggar aturan tidur yang ditetapkan.
Namun, bagaimana jika anak tersebut tidak merasa bersalah ketika tidur melewati jam sembilan malam? Ini bisa menunjukkan bahwa anak tersebut telah mengabaikan kekuasaan orang tuanya dan tidak mematuhi aturan tidur, meskipun pada dasarnya ia masih meyakini bahwa tidur setelah jam sembilan malam dianggap sebagai perilaku yang kurang baik, seperti bisa membuatnya terlambat ke sekolah, sebagai contoh.
Dari penjelasan mengenai teori kekuasaan di atas, pertanyaannya kemudian adalah apakah ada kaitan antara teori kekuasaan dengan teori dekonstruksi? Secara faktual, teori kekuasaan yang dikembangkan oleh Foucault memiliki kesamaan dengan teori dekonstruksi yang diajukan oleh Jacques Derrida, yaitu keduanya mengungkap dan membongkar "kebenaran" sebagai suatu konstruksi yang telah diterima secara bersama (konstruksi sosial).
Walaupun begitu, terdapat perbedaan pendekatan antara teori kekuasaan Foucault dan teori dekonstruksi Derrida. Foucault lebih berfokus pada analisis relasi kekuasaan dan bagaimana kekuasaan beroperasi dalam berbagai konteks. Di sisi lain, teori dekonstruksi Derrida lebih menitikberatkan analisisnya pada objek yang membawa "nilai-nilai kebenaran" yang telah disepakati.
Dalam definisi formal, dekonstruksi merujuk pada suatu pemikiran atau metode berpikir yang bertujuan untuk memahami kontradiksi yang ada dalam suatu teks dan mencoba untuk merekonstruksi makna-makna yang melekat dalam teks tersebut. Pendekatan ini menekankan pada ketidakstabilan makna dan kompleksitas dalam interpretasi, menantang ide bahwa suatu teks memiliki makna yang tetap dan pasti.
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teori dekonstruksi tidak hanya diterapkan dalam menganalisis teks, seperti karya sastra, tetapi juga digunakan untuk menganalisis berbagai konstruksi sosial.
Pendekatan dekonstruksi meyakini bahwa suatu teks atau konstruksi sosial menyimpan makna-makna yang tersembunyi dan memiliki arti yang beragam sesuai dengan penafsiran masing-masing individu. Oleh karena itu, pemikiran dekonstruksi melibatkan proses pencarian makna secara menyeluruh dari suatu struktur, yang berbeda dari makna tunggal yang mungkin telah disepakati bersama dalam konstruksi sosial.
Sebagai contoh, kita dapat mengambil kasus anak kecil yang telah disebutkan sebelumnya, di mana anak tersebut diwajibkan untuk tidur sebelum jam sembilan malam dan merasa bersalah jika tidur setelah jam tersebut. Pendekatan dekonstruksi akan mencoba menggali lebih dalam untuk memahami asumsi-asumsi dan konstruksi sosial yang mendasari aturan tersebut, serta mencari makna yang mungkin tersembunyi di balik norma-norma tersebut.
Bila kita mengadopsi teori kekuasaan Foucault untuk menganalisis situasi tersebut, kita dapat dengan jelas mengidentifikasi relasi kekuasaan antara orang tua dan anak. Dalam konteks ini, anak dianggap sebagai agen kekuasaan orang tua, dan keberadaan anak menjadi kunci dalam ekosistem kekuasaan keluarga.
Cara kekuasaan beroperasi terlihat pada ketika anak merasa bersalah bila melanggar aturan tidur dan menghadapi konsekuensi seperti teguran atau keterlambatan datang ke sekolah.
Namun, jika kita beralih ke teori dekonstruksi, pendekatannya akan lebih menitikberatkan pada analisis terhadap konstruksi atau makna awal yang mendasari situasi tersebut. Pertama-tama, kita perlu mencari pemahaman menyeluruh terhadap konstruksi awal atau aturan yang diterapkan, dalam hal ini, aturan untuk mencegah keterlambatan anak datang ke sekolah.
Dengan menggunakan teori dekonstruksi, kita dapat mengajukan pertanyaan kritis terhadap konstruksi tersebut. Misalnya, mengapa anak diharuskan tidur sebelum jam sembilan malam dan tidak diperbolehkan tidur setelah jam tersebut? Apakah tidur di atas jam sembilan malam benar-benar akan mengakibatkan keterlambatan anak datang ke sekolah?
Pertanyaan-pertanyaan ini merangsang pemikiran kritis untuk menggali kontradiksi atau makna tersembunyi di balik norma tersebut, tanpa menganggap ada kebenaran yang tetap dan pasti.
Dengan menganalisis dua pertanyaan tersebut, kita dapat menyimpulkan dengan pandangan yang lebih radikal, yaitu "Mungkin saja orang tua memiliki motif terselubung di balik aturan tidur tersebut—mungkin untuk menghindari gangguan dari si anak, sebagai contoh (?)."
Dalam konteks sederhana seperti ini, aplikasi teori dekonstruksi Derrida mendorong kita untuk berpikir secara kritis, skeptis, dan radikal dalam memberikan makna ulang terhadap berbagai konstruksi sosial yang ada dalam masyarakat. Pendekatan ini tidak terpaku pada pemikiran biner, seperti benar atau salah, dan mengajak untuk melihat melampaui konsep-konsep yang telah ditetapkan.
Seperti yang disampaikan oleh Derrida, keyakinan dalam dunia ini hanyalah ketidakpastian semata. Oleh karena itu, teori dekonstruksi meyakini bahwa makna yang terkandung dalam suatu hal atau objek tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang tetap atau konstan, melainkan selalu berubah sejalan dengan penafsiran yang bervariasi dari setiap individu.
Teori dekonstruksi, sebagai salah satu metode berpikir postmodernisme, menonjolkan fleksibilitasnya yang bersifat subjektif, menjadikannya alat analisis yang banyak digunakan untuk mengurai berbagai teks, mulai dari karya sastra, undang-undang, aturan tertulis, hingga kitab suci.
Kelebihan teori dekonstruksi terletak pada kemampuannya sebagai "pisau" untuk menguraikan berbagai konstruksi sosial, karena banyak konstruksi sosial yang eksis umumnya bersifat simbolis atau perlambang.
Namun, perlu diingat bahwa sebagai manusia dengan keterbatasan pengetahuan, tidak selalu disarankan untuk mendekonstruksikan setiap aspek dalam kehidupan. Jika kita terlalu mempertanyakan segala hal, mungkin kita akan merasa terjebak dalam keruwetan pikiran dan kebingungan yang dapat mengganggu kesejahteraan hidup. Seimbangnya, pendekatan dekonstruksi sebaiknya diaplikasikan dengan bijak dan disesuaikan dengan konteks serta tujuan yang spesifik.