image: https://lsfdiscourse.org/wp-content/uploads/2023/10/The-Professor.jpg |
Daftar Isi
Kematian bukanlah lawan dari kehidupan, melainkan bagian dari kehidupan itu sendiri, begitulah kalimat yang terdapat dalam novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami. Meski demikian, kita seringkali merasa frustasi ketika berhadapan dengan kematian, misalnya kematian orang terdekat, hewan peliharaan atau bahkan mungkin suatu saat nanti kita sendiri pun akan menghadapinya sendiri seperti yang dialami oleh tokoh Richard Brown yang diperankan oleh Johnny Depp dalam film The Professor atau judul lain film tersebut adalah Richard Says Goodbye. Sebuah film bergenre drama/komedi yang dirilis pada tahun 2018 dan disutradarai oleh Wayne Roberts.
Richard Brown merupakan seorang dosen di sebuah universitas. Di awal film, diperlihatkan Richard yang sedang mendengarkan diagnosa dokter tentang penyakitnya yang dideritanya. Sang dokter memberitahu bahwa dirinya ternyata mengidap tumor dan kanker paru-paru stadium akhir dan kemungkinan masa hidupnya tinggal 6 bulan saja. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga – beton. Saat makan malam Richard hendak menyampaikan kabar buruk dari dokter tentang kondisinya kepada keluarganya, akan tetapi Richard malah mendapat kabar buruk lain, anaknya mengaku lesbian dan dianggap oleh Richard sebagai perilaku abnormal, sedangkan istrinya mengaku selingkuh dengan atasannya di kampus. Akibatnya, Richard memilih untuk merahasiakan kankernya dari keluarganya dan lebih memilih menceritakan penyakitnya tersebut kepada Peter yang merupakan teman dekatnya.
Perayaan Hidup
Elisabeth Kübler-Ross merupakan seorang psikiater berkebangsaan Swiss-Amerika menjelaskan bahwa ketika individu berhadapan dengan kematian, maka individu tersebut akan melewati 5 fase, yaitu penyangkalan (denial), marah (anger), menawar (bargaining), depresi (depression), dan terakhir penerimaan (acceptance). Kelima fase tersebut dilalui oleh Richard secara simultan. Mulanya ia seakan tidak percaya dengan kabar yang diterimanya. Ia mengungkapkan kemarahannya dengan cara memasuki sebuah kolam sambil mengutuk-ngutuk Tuhan atas penyakit yang diidapnya. Ia juga membubarkan kelasnya karena depresi dan agar bisa mabuk-mabukan selama 72 jam. Meski demikian, perlahan-lahan Richard mulai menerima keadaannya, ia tetap menjalankan tugasnya sebagai dosen walaupun seringkali bertindak amoral seperti merokok di dalam kelas, mengajak para mahasiswanya ke bar untuk kuliah, dan mengonsumsi ganja. Beberapa kali ia juga memberikan nasehat kepada mahasiswanya untuk memaknai kematian dan menikmati setiap detik kehidupan karena mereka keberadaan mereka sangat berpengaruh di masyarakat.
Selain Richard, Peter pun merasakan dan ikut melalui fase-fase ‘menjelang kematian’ yang dijelaskan oleh Kubler-Ross. Ia merasa frustasi sampai memaksa Richard untuk mengikuti suatu SGD (Support Group Discussion) sesama penderita kanker. Peter begitu emosional, ia tidak ingin kehilangan teman dekatnya. Sedangkan Richard malah sebaliknya, ia sudah menerima fakta bahwa umurnya sudah tidak lama lagi, ia tidak ingin terperangkap oleh perasaan emosional di tempat itu, merenungi sisa umurnya, ia menolak untuk dikasihani karena penyakitnya. Richard lebih memilih untuk menyambut dan merayakan kematiannya yang akan datang dengan cara melakukan apa yang ia ingin lakukan.
“Semoga sukses dengan kematian yang akan datang” ujar Richard sembari mengajak orang-orang yang ada di dalam ruangan ke bar ketika hendak meninggalkan forum SGD penderita kanker.
Saat sampai di bar Richard mengatakan “Sekarang apa artinya jika aku mati?” Beberapa hari kemudian ia berpidato sembari mengucapkan salam perpisahan kepada seluruh civitas akademik saat acara makan malam bahwa ia akan mati. Ia mengakui kegagalannya menjalani hidup. Oleh karena itu ia mengajak seluruh orang di dalam ruangan untuk merayakan kehidupan mereka dengan cara berteman baik dengan kematian sehingga dapat memberikan makna baru atas kehidupan yang sedang mereka jalani. Richard berperilaku sebagai martir kebenaran atas kematian yang begitu dekat dengan semua orang.
Sikap Richard sepanjang film berlangsung merepresentasikan suatu semangat nihilisme aktif yang menurut Nietzsche menggambarkan digambarkan dalam interogasi bernada petualangan mendebarkan, berani, bertahan, dan tidak mutung. Ia tidak ingin mengasihani diri sendiri seperti orang-orang yang mengikuti forum SGD penderita kanker yang merupakan representasi atas nihilisme pasif yang bagi Nietzsche menganggap keberadaan – penyakit mereka – sebagai hukuman. Richard mengatakan ya, ia mengafirmasi kehidupan yang memuat kematian, dan segala ketidakpastiannya yang menantinya.
Di akhir film Richard diperlihatkan sedang mengendarai mobil dalam keadaan sedih sambil menahan air mata, namun secara perlahan emosinya berubah menjadi senang yang ditandai dengan tertawa saat bertemu dengan sebuah pertigaan. Fatum brutum amorfati. Richard seakan menertawakan takdirnya, ia memilih untuk menepi dari segala rutinitas lamanya untuk menerjang sisi samudera kehidupan yang lain dengan senang hati. Hidup hanya sekali dan oleh karena itu sudah semestinya dirayakan. Ia menertawakan kefanaan manusia, bahwa kematiannya dan juga manusia-manusia lainnya sungguh begitu dekat. Karena begitulah fakta yang harus diterima. Menurut Freud, perilaku tersebut bukanlah keanehan karena dalam humor terdapat perlawanan dan kebebasan. Hal itu terejawantahkan dalam tindakan Richard yang tidak memilih salah satu di antara opsi jalur yang tersedia, dia tidak berbelok ke kiri atau ke kanan, melainkan menerobos masuk ke ladang yang terbentang di hadapannya. Scene ini, menurut hemat penulis seolah menunjukkan suatu semangat kebebasan yang oleh Richard ingin menciptakan kembali nilai-nilai kehidupannya sendiri.
Referensi
Richard Says Goodbye. Disutradarai oleh Wayne Roberts, Saban Films, 2018.
Soesilo-Ariawan, Anodya. 2019. Menertawakan Absurditas Agar Tetap Waras: Humor, Nihilisme, dan Penertawa. Gema Teologika, 4 (1), 31-54
Universitas Negeri Jakarta. 2021. Mengenal Tahapan Kedukaan dari Dr. Kübler-Ross. https//: https://upt-lbk.unj.ac.id/blog/Tahapan%20kedukaan
Vazquez, Juan Luis Toribio. 2020. Nietzsche’s shadow: On the origin and development of the term nihilism. Philosophy and Social Criticism, 1-14. https://doi.org/10.1177/0191453720975454