New Post: Politik Anggaran dan Pengaruhnya pada Dana Bansos dalam Pembangunan Sosial-Ekonomi Read

Menapaki Jejak Ideologi: Pendidikan, Negara, dan Masyarakat di Indonesia

Pendidikan sebagai alat ideologis negara, mengontrol pandangan, menantang kebebasan individu, dan memengaruhi masyarakat.
14 mins Read
Menapaki Jejak Ideologi: Pendidikan, Negara, dan Masyarakat di Indonesia
image: https://raw.githubusercontent.com/ajax-jquery/asset.sabdaliterasi.shop/main/img/menapaki-jejak-ideologi-pendidikan-negara-dan-masyarakat-di-indonesia.jpg
Daftar Isi

Pendidikan seharusnya berfokus sepenuhnya pada kepentingan manusia itu sendiri, agar mereka dapat mencapai kebebasan sejati dan tidak hanya dijadikan alat oleh kekuatan luar.

Kutipan tersebut berasal dari tulisan seorang filsuf dan politikus Rusia, Mikhail Bakunin, dalam pamfletnya yang terkenal, "God and The State," yang sangat memengaruhi para aktivis pada masanya. Bakunin mengecam otoritas yang dimiliki oleh gereja dan negara, menganggap keduanya sebagai sumber irasionalitas, ketertinggalan, dan kekacauan dalam peradaban manusia. Baginya, negara hanyalah alat untuk mempertahankan kekuasaan segelintir elit, sementara gereja menjadi sekutu setia negara dalam mengendalikan umat manusia.

Hubungan Pendidikan dan Negara Menurut Rothbard

Dengan cermatnya, Bakunin menyampaikan dalam pamfletnya bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara bidang pendidikan, yang diwakili oleh institusi gereja, dengan keberadaan negara yang menuntut ketaatan dan pengakuan dari semua individu di bawah kekuasaannya. Melalui pendidikan, negara memiliki kontrol penuh untuk menanamkan ideologi, ajaran, dan pandangan yang mengokohkan kekuasaannya.

Meskipun ini dianggap sebagai langkah penting untuk menjaga stabilitas kekuasaan, namun proses ini juga menimbulkan masalah yang serius, yang sering kali diabaikan oleh banyak orang. Masalah ini terkait erat dengan hubungan antara pemerintah dan masyarakat, khususnya masyarakat sipil atau masyarakat yang berada di luar struktur pemerintahan.

Pemikiran Althusser tentang Ideologi dan Pendidikan

Mari kita fokus pada kajian teoritis terkait hubungan antara pendidikan dan negara, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang peran laten dari lembaga pendidikan yang selalu terkait erat dengan kepentingan pemerintah. Dalam bukunya yang berjudul "Anatomi Negara," yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1974, ekonom libertarian Murray N. Rothbard menyoroti pentingnya pendidikan bagi negara dalam mempertahankan kekuasaannya. Dengan sangat baik, Rothbard menulis:

Agar masyarakat mayoritas menerima esensi kekuasaan negara, mereka harus dipersuasi bahwa pemerintahan mereka adalah yang terbaik, bijaksana, dan jelas lebih baik daripada opsi lain yang mungkin ada. Memperkenalkan dan mempromosikan ideologi ini di kalangan masyarakat merupakan tugas penting kaum intelektual dalam masyarakat.

(Rothbard, 2018: 23)

Pernyataan Rothbard dengan jelas menyoroti bahwa kaum intelektual atau individu dengan tingkat pendidikan tinggi memiliki potensi besar untuk menyebarkan ideologi negara kepada masyarakat luas. Dalam konteks nyata, konsep "kaum intelektual" yang disebutkan oleh Rothbard dapat direpresentasikan oleh lembaga pendidikan seperti sekolah.

Pemikiran ini terkait dengan tesis Louis Althusser dalam karyanya yang berjudul "Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara," di mana Althusser menyatakan bahwa akar dari resistensi terhadap struktur sosial-politik dalam wilayah negara terletak pada pengelolaan proses pendidikan dalam masyarakat.

Berdasarkan pemikiran Althusser, meskipun istilahnya berbeda dari Rothbard, substansi yang disampaikan tetap sama. Althusser menggunakan istilah "Aparatus Pendidikan Negara" untuk menyebut pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam proses pendidikan, yang memiliki peran dalam mentransfer ilmu pengetahuan kepada masyarakat. Namun, seperti namanya, Aparatus Pendidikan Negara juga berfungsi sebagai alat negara untuk mempertahankan dominasinya.

Althusser menekankan bahwa pendidikan bukanlah sesuatu yang netral, melainkan instrumen yang digunakan oleh kelas penguasa untuk menyebarluaskan ideologinya kepada warga negara.

Dengan demikian, proses pendidikan yang mencakup berbagai kepentingan, terutama kepentingan dari kelas penguasa atau ideologi dominan, dapat menyebabkan kehilangan kebebasan berpikir, penindasan, dan ketergantungan bagi warga negara yang terlibat di dalamnya. Ini menyiratkan bahwa pendidikan tidak hanya sekadar menyampaikan pengetahuan, tetapi juga merupakan alat untuk mempertahankan struktur kekuasaan dan memengaruhi pola pikir masyarakat.

Pandangan Geuss tentang Ideologi

Analisis mengenai ideologi dan hubungannya dengan pendidikan dapat dimulai dengan merujuk pada pandangan Raymond Geuss yang terdapat dalam bukunya "Ide Teori Kritis Habermas & Mazhab Frankfurt" yang diterbitkan pertama kali oleh Cambridge University Press pada tahun 1989. Geuss menawarkan pandangan bahwa ideologi bukanlah istilah yang memiliki definisi tunggal. Baginya, dunia yang kita alami adalah realitas yang kompleks.

Geuss menjelaskan dengan jelas bahwa istilah ideologi digunakan dalam berbagai konteks yang berbeda. Ini terutama disebabkan oleh banyaknya teori-teori sosial yang mencoba menjelaskan dan memahami fenomena ideologi melalui berbagai sudut pandang dan pertanyaan yang beragam.

Geuss membagi definisi ideologi ke dalam tiga arti khusus, yang masing-masing didasarkan pada konteks sosialnya:

1. Ideologi dalam pengertian deskriptif

Ideologi dalam konteks ini dipahami sebagai segala bentuk pemikiran yang tidak dapat diuji secara logis atau empiris. Ini mencakup penilaian moral, kepercayaan, sikap, kebiasaan, dan paham keagamaan. Ideologi deskriptif berfokus pada pemahaman tentang bagaimana manusia memandang dan merespon dunia di sekitarnya.

2. Ideologi dalam pengertian peyoratif

Dalam konteks ini, ideologi dianggap sebagai sesuatu yang negatif, sering kali disamakan dengan istilah "khayalan" atau "kesadaran palsu". Ini karena ideologi, pada dasarnya, dipandang sebagai sistem pemikiran yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan digunakan oleh pihak atau kelompok tertentu untuk melegitimasi kekuasaannya.

3. Ideologi dalam pengertian positif

Di sini, ideologi dianggap sebagai sesuatu yang netral. Definisi dan nilai dari ideologi bergantung pada fungsinya dalam konteks tertentu. Ideologi positif memandang ideologi sebagai alat yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan, baik untuk mempertahankan status quo maupun untuk mengusulkan perubahan sosial.

Pemahaman tentang ideologi dalam tiga pengertian ini membantu kita memahami kompleksitas dan beragamnya konsep ideologi dalam konteks sosial yang berbeda.

Dengan pemahaman yang di sampaikan, Saya menekankan bahwa ideologi bersifat instrumental, artinya dapat digunakan baik untuk tujuan yang dianggap moral "baik" maupun untuk mendukung hal-hal yang dianggap "buruk" secara moral. saya cenderung melihat ideologi dari perspektif yang menekankan penggunaannya untuk melayani atau melegitimasi suatu tujuan tertentu, terlepas dari nilai moralnya. Ini sesuai dengan pandangan Karl Marx tentang ideologi.

Marx menyatakan bahwa ideologi bukanlah sekadar pandangan atau gagasan yang bersifat netral, tetapi merupakan produk dari kondisi sosial dan ekonomi yang menguntungkan kelas penguasa atau borjuis. Ideologi mencerminkan kepentingan dan dominasi kelas borjuis terhadap kelas pekerja atau proletariat. Dalam konteks ini, ideologi digunakan untuk mempertahankan struktur sosial yang ada dan memperkuat kekuasaan kelas penguasa. Oleh karena itu, pandangan saya yang cenderung melihat ideologi sebagai alat untuk melayani kepentingan dan melegitimasi struktur kekuasaan yang ada, sejalan dengan pemahaman Marx tentang peran ideologi dalam masyarakat kapitalis.

Dengan demikian, pandangan saya yang menekankan fungsi instrumental ideologi dalam melayani kepentingan tertentu mungkin dipengaruhi oleh pemahaman saya tentang analisis Marxian tentang ideologi dan peran ideologi dalam masyarakat kapitalis.

Dalam pemahaman Marx, ideologi merupakan representasi dari kepentingan egois pihak yang berkuasa, yang kemudian disajikan sebagai kepentingan umum. Marx memandang ideologi sebagai ajaran yang menjelaskan atau membenarkan suatu keadaan, terutama dalam struktur kekuasaan, walaupun keadaan tersebut sebenarnya tidak sah. Ideologi memberikan legitimasi kepada keadaan yang sebenarnya tidak memiliki legitimasi, dan hal ini didasarkan pada fakta bahwa ideologi melayani kepentingan kelas berkuasa.

Pendapat Slavoj Zizek, seorang kritikus budaya, mungkin dapat memberikan pandangan yang konkret mengenai sifat menyesatkan dari ideologi. Zizek menyoroti bagaimana ideologi tidak hanya membenarkan keadaan yang ada, tetapi juga menciptakan ilusi tentang realitas yang sebenarnya. Ideologi menciptakan pemahaman yang menyembunyikan kontradiksi dan ketidakadilan dalam masyarakat, sehingga mengaburkan pandangan kita terhadap kebenaran dan realitas. Dengan demikian, pandangan Zizek menggarisbawahi bagaimana ideologi dapat mengelabui dan memperdaya individu, membuat mereka percaya pada suatu narasi yang sebenarnya bertentangan dengan kepentingan mereka sendiri.

Sindiran sinis yang disampaikan oleh Slavoj Zizek mengenai ideologi adalah sebagai berikut:

"Saya sudah lama makan dari tempat sampah sepanjang waktu. Nama tempat sampah ini adalah ideologi. Kekuatan material dari ideologi membuat saya tidak melihat apa yang sebenarnya saya makan. Bukan hanya realitas kita yang menjajah kita. Tragedi dari situasi kita ketika kita berada dalam ideologi adalah bahwa ketika kita berpikir bahwa kita melarikan diri dari itu ke dalam mimpi kita, pada saat itu kita sebenarnya masih berada dalam ideologi."

Dalam kutipan ini, Zizek menggambarkan bagaimana ideologi dapat menjadi seperti tempat sampah yang tidak terlihat, di mana kita secara tidak sadar terus menerimanya sebagai bagian dari realitas kita. Ideologi memiliki kekuatan untuk menyembunyikan atau mengaburkan kebenaran tentang kondisi kita, sehingga kita terus menerimanya tanpa menyadarinya. Bahkan ketika kita berpikir bahwa kita melarikan diri dari pengaruh ideologi ke dalam impian atau harapan kita, pada kenyataannya kita masih terjebak dalam ideologi tersebut.

saya menggarisbawahi dengan baik bahwa ideologi memiliki kecenderungan untuk mengaburkan kita dari realitas, meskipun pada saat yang sama, ideologi juga merupakan bagian dari realitas itu sendiri. Ini menunjukkan bahwa perjuangan untuk membebaskan diri dari pengaruh ideologi adalah perjuangan yang terus-menerus dan abadi.

Sekarang, mari kita fokus pada bagaimana pendidikan, yang diwakili oleh sekolah, berimplikasi pada proses penanaman ideologi yang saya tafsirkan sebagai sesuatu yang negatif. Secara sosiologis, sekolah memang merupakan institusi sosial yang memiliki peran yang sangat signifikan dalam masyarakat. Selain memainkan peran dalam mensosialisasikan nilai-nilai, pandangan, dan pemahaman kepada masyarakat, sekolah juga memiliki legitimasi khusus untuk terus terlibat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Melalui kurikulum, pengajaran, dan lingkungan sekolah, ideologi dapat disampaikan dan ditanamkan kepada siswa. Ideologi yang mungkin ditanamkan dalam konteks pendidikan dapat mencakup nilai-nilai tertentu, pandangan politik, dan pemahaman tentang masyarakat dan struktur kekuasaan. Terlebih lagi, karena sekolah memiliki legitimasi dan otoritas dalam masyarakat, ideologi yang ditanamkan melalui pendidikan cenderung lebih diterima dan sulit untuk dipertanyakan oleh siswa.

Namun, penting untuk diingat bahwa pendidikan juga dapat menjadi alat untuk menyampaikan ideologi yang mempromosikan pemikiran kritis, kebebasan berpikir, dan kesadaran sosial. Pendidikan yang berkualitas dapat mengajarkan siswa untuk mempertanyakan ideologi yang ditanamkan, mengembangkan kemampuan kritis mereka, dan menjadi agen perubahan sosial yang aktif. Oleh karena itu, sementara pendidikan dapat berperan dalam penanaman ideologi, namun pendidikan yang baik juga dapat menjadi alat untuk membebaskan individu dari pengaruh ideologi yang mungkin membatasi kebebasan dan perkembangan mereka.

Dalam konteks ini, sekolah dapat dipahami sebagai salah satu institusi yang secara aktif ikut dalam mereproduksi kondisi sosial masyarakat. Sebagai institusi yang bersifat instrumental, sekolah dapat memiliki dampak positif dan negatif dalam masyarakat. Di satu sisi, sekolah dapat memiliki dimensi positif jika upayanya dalam memberikan ilmu pengetahuan didasarkan pada keinginan untuk memberdayakan individu dan membebaskan mereka dari dominasi yang membatasi. Namun, di sisi lain, sekolah juga dapat memiliki dimensi negatif jika digunakan untuk melayani kepentingan kelas penguasa, seperti yang diistilahkan oleh Louis Althusser dalam konsep reproduksi syarat-syarat produksi untuk memperkuat relasi dominan dalam masyarakat.

Pendidikan sebagai Instrumen Ideologis Negara dalam Konteks Indonesia

Dalam konteks Indonesia, fenomena ini dapat diamati lebih jelas pada masa pemerintahan Soeharto selama lebih dari 30 tahun. Meskipun era Orde Baru tersebut sering dianggap sebagai periode stabilitas sosial-politik, stabilitas itu sebagian besar didorong oleh sikap sewenang-wenang dari para birokrat dan kelas penguasa, bukan karena pengelolaan kebijakan yang efektif atau kepemimpinan yang tanpa cela dari Soeharto.

Kesewenang-wenangan yang sering terjadi dalam era Orde Baru sering kali tercermin dalam penafsiran tunggal mengenai stabilitas negara yang dilakukan oleh para birokrat. Dengan demikian, mereka memiliki kebebasan untuk menentukan dan memutuskan subjek atau objek apa pun yang dianggap berpotensi mengancam negara tanpa adanya proses dialog atau komunikasi terlebih dahulu. Hal ini mencerminkan ciri dari atmosfer negara yang otoriter atau totaliter, di mana semua keputusan yang berkaitan dengan masalah kenegaraan dan kepentingan umum warga negara didasarkan pada keputusan sewenang-wenang yang berada di tangan pemerintah. Dalam konteks ini, otoritas pemerintah mendominasi tanpa adanya ruang untuk kritik atau partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.

Dalam konteks pemerintahan Orde Baru, pemerintah mengadopsi pendekatan yang sangat terorganisir dan sistematis dalam memelihara masyarakat agar tetap patuh terhadap sistem yang otoritatif tersebut. Salah satu mekanisme utamanya adalah melalui pendidikan. Ini tercermin dalam pembentukan institusi seperti Badan Pembina Pendidikan Pelaksana Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7). Melalui BP7, pemerintah menggunakan pendidikan sebagai senjata ideologis untuk membina warga negara agar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Selama hampir dua dekade, pemerintah mewajibkan pegawai negeri dan anggota masyarakat untuk mengikuti penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Di sekolah, P4 diajarkan melalui mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang pertama kali diatur dalam Kurikulum 1975. Dalam konteks ini, David Bourchier, dalam bukunya "Illiberal Democracy in Indonesia: The Ideology of the Family State", memberikan pandangan menarik.

Bourchier menekankan bahwa Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila bukanlah sekadar interpretasi Pancasila. Lebih tepatnya, itu adalah kode praktik, petunjuk, dan aturan perilaku untuk kehidupan sosial dan politik bagi setiap warga negara Indonesia, penyelenggara negara, serta lembaga negara dan sosial di seluruh Indonesia. Ini menunjukkan bagaimana pendidikan digunakan oleh pemerintah Orde Baru sebagai alat untuk menanamkan nilai-nilai dan aturan perilaku yang mendukung hegemoni negara.

Ungkapan yang dikemukakan oleh Bourchier secara jelas menggambarkan bahwa dalam sejarahnya, Indonesia mengalami pergumulan antara proses pendidikan dan ideologi yang berdampak pada hegemoni negara. Hal ini menyebabkan masyarakat cenderung menurut, mengiyakan, mengamini, atau mematuhi segala hal yang diajarkan oleh penguasa negara pada masa itu.

Pada era Orde Baru, pendidikan digunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk menanamkan nilai-nilai dan aturan perilaku yang mendukung hegemoni negara. Melalui institusi seperti BP7 dan program-program seperti P4, pemerintah menciptakan suatu lingkungan di mana masyarakat didorong untuk menginternalisasi ideologi negara. Ini menghasilkan sikap yang patuh dan taat terhadap otoritas negara serta ketergantungan pada pandangan dan kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah.

Dengan demikian, pergumulan antara pendidikan dan ideologi pada masa itu menciptakan kondisi di mana warga negara cenderung mengikuti arahan dan norma yang ditetapkan oleh penguasa negara, tanpa banyak pertanyaan atau kritik. Ini merupakan gambaran dari hegemoni negara dalam memengaruhi pikiran dan perilaku masyarakat melalui pendidikan dan institusi-institusi lainnya.

Pandangan saya mengenai kondisi saat ini sangatlah relevan. Meskipun praktik pemerintahan yang otoriter tidak lagi umum dijalankan, hubungan antara pendidikan dan ideologi masih tetap kuat dan berdampak pada masyarakat saat ini. Perbedaannya terletak pada orientasi dari proses penanaman ideologi melalui pendidikan.

Keterkaitan Pendidikan dengan Ideologi Pasar di Era Kontemporer

Pada masa Orde Baru, ideologi ditanamkan melalui pendidikan dengan orientasi agar masyarakat tunduk pada pemerintah. Namun, di era kontemporer, proses penanaman ideologi melalui pendidikan cenderung memiliki orientasi agar warga negara tunduk pada keinginan pasar. Ini menunjukkan bahwa, meskipun warga negara mungkin memiliki kebebasan untuk tidak mematuhi atau memberikan kritik kepada penguasa negara, namun mereka masih terikat oleh ketergantungan pada pasar.

Dalam konteks ini, pendidikan mungkin mengarahkan individu untuk menjadi konsumen yang taat, mengutamakan nilai-nilai materialisme, atau bahkan menginternalisasi ideologi neoliberal yang menekankan pada persaingan dan keuntungan pribadi. Dengan demikian, meskipun terdapat kebebasan politik yang lebih besar, namun masyarakat masih terikat oleh dominasi ideologi pasar yang dapat memengaruhi cara mereka berpikir, bertindak, dan merasakan dalam kehidupan sehari-hari.

Kesimpulan

Kesimpulan saya mengenai pendidikan sangatlah kuat dan relevan. Pendidikan memang tidak netral dan selalu dipengaruhi oleh kepentingan tertentu. Seperti yang saya dan Bakunin tekankan, peran pendidikan seharusnya adalah memberikan masyarakat cahaya pengetahuan yang mampu menerangi pandangan mereka terhadap dunia.

Pendidikan harus membebaskan individu dari berbagai dogma dan ideologi yang dapat mengaburkan pemahaman mereka tentang bagaimana seharusnya hidup. Lebih baik tidak ada cahaya sama sekali daripada cahaya palsu yang hanya akan menyesatkan. Pendidikan seharusnya memberikan cahaya yang jelas dan benar, membantu individu untuk melihat dunia dengan lebih baik dan menjadi agen perubahan yang berpikir kritis dan mandiri. Dengan demikian, mereka akan memiliki kemampuan untuk membebaskan diri mereka sendiri dan masyarakat dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan.

Kutipan dari Bakunin dengan tepat menutup esai Anda. Substansi dari kutipan tersebut adalah bahwa untuk memastikan pelaksanaan pendidikan, khususnya di Indonesia, berjalan dengan kualitas yang maksimal, orientasinya haruslah pada manusia itu sendiri. Tujuan utama dari pendidikan adalah membebaskan individu agar tidak hanya menjadi instrumen bagi kepentingan eksternal, tetapi juga mampu mengembangkan diri mereka secara penuh dan mandiri. Dengan demikian, pendidikan dapat menjadi sarana untuk memberdayakan individu dan membangun masyarakat yang lebih baik.

Daftar Pustaka

  • Ardanareswari, Indira. (2020). "Sejarah P4 di Masa Orde Baru yang Kini Akan Dihidupkan Lagi". Diakses pada Sabtu, 21 Agustus 2021, dari https://tirto.id/sejarah-p4-di-masa-orde-baru-yang-kini-akan-dihidupkan-lagi-eCDt
  • Althusser, Louis. (2015). Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara (Catatan-Catatan Investigasi). Terjemahan oleh Mohamad Zaki Hussein. IndoPROGRESS.
  • Bakunin, Mikhail. (2017). God and The State. Terjemahan oleh Zulkarnaen Ishak. Yogyakarta: Second Hope.
  • Bourchier, David. (2015). Illiberal Democracy in Indonesia: The ideology of the family state. New York: Routledge.
  • Geuss, Raymond. (2004). Ide Teori Kritis Habermas & Mazhab Frankfurt. Terjemahan oleh Robby H. Abror. Yogyakarta: Panta Rhei Books.
  • Magnis-Suseno, Franz. (1999). Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Rothbard, Murray N. (2018). Anatomi Negara. Terjemahan oleh R. A. Husein. Salatiga: Penerbit Parabel.
  • The Pervert’s Guide to Ideology. (2012). Film disutradarai oleh Sophie Fiennes, ditulis dan disajikan oleh Slavoj Zizek. Zeitgeist Film.

About Us

Platform yang menawarkan artikel dengan pemikiran filosofis mendalam, koleksi ebook eksklusif, dan layanan penyelesaian tugas kuliah dan sekolah yang terpercaya.

comments

🌟 Attention, Valued Community Members! 🌟

We're delighted to have you engage in our vibrant discussions. To ensure a respectful and inclusive environment for everyone, we kindly request your cooperation with the following guidelines:

1. Respect Privacy: Please refrain from sharing sensitive or private information in your comments.

2. Spread Positivity: We uphold a zero-tolerance policy towards hate speech or abusive language. Let's keep our conversations respectful and friendly.

3. Language of Choice: Feel free to express yourself in either English or Hindi. These two languages will help us maintain clear and coherent discussions.

4. Respect Diversity: To foster an inclusive atmosphere, we kindly request that you avoid discussing religious matters in your comments.

Remember, your contributions are valued, and we appreciate your commitment to making our community a welcoming place for everyone. Let's continue to learn and grow together through constructive and respectful discussions.

Thank you for being a part of our vibrant community! 🌟
Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.