image: https://www.circulobellasartes.com/wp-content/uploads/2005/11/JEAN-BAUDRILLARD.jpg |
Daftar Isi
Di era digital, kita seringkali dihadapkan pada berbagai iklan yang muncul di berbagai platform, seperti iklan politik, produk kecantikan, dan makanan, baik di TikTok, Instagram, Facebook, maupun berbagai marketplace.
Fenomena ini mencerminkan perkembangan teknologi yang pesat. Tetapi, apakah kita pernah mempertimbangkan risiko yang mungkin muncul jika kita tidak siap menghadapi kemajuan tersebut? Dalam konteks ini, kita akan merenungkan pemikiran kritis dari seorang tokoh post-strukturalis Prancis bernama Jean Baudrillard.
Gaya Hidup Konsumeris: Antara Pemenuhan dan Ekspresi Sosial
Konsumsi memegang peranan penting dalam kehidupan ini. Menurut KBBI, konsumsi dapat didefinisikan sebagai penggunaan barang hasil produksi, yang pada gilirannya dapat mencerminkan posisi sosial seseorang.
Namun, di era saat ini, muncul istilah konsumerisme yang melampaui konsep konsumsi. Konsumerisme tidak hanya merujuk pada tindakan mengonsumsi untuk memenuhi kebutuhan, tetapi lebih merupakan sebuah gaya hidup yang menjadi kesadaran praktis individu.
Baudrillard menyatakan bahwa pada masa kini, individu cenderung hidup dipengaruhi oleh benda atau objek. Dalam pemenuhan kebutuhan, mereka tidak lagi didorong oleh "kekurangan akan sesuatu" yang harus dipenuhi, melainkan karena sesuatu itu dipromosikan dan diinginkan oleh orang lain. Keindahan juga menjadi aspek yang sangat penting.
Sebagai contoh, ketika seseorang ingin mendekorasi ruang tamunya, meja dan kursi mungkin sudah cukup. Namun, mereka merasa perlu untuk melengkapi dengan berbagai benda seperti lampu, taplak meja, figur, tempat tisu, dan lain sebagainya, semata-mata untuk memuaskan hasrat estetik mereka.
Menekankan peran iklan (yang diuraikan dalam bentuk tanda), pada zaman ini, seringkali membuat seseorang cenderung menganggapnya sebagai realitas.
Sebagai contoh, ketika melihat iklan penjualan rumah, seorang ayah yang berencana membeli rumah tersebut mungkin memberi tahu anaknya bahwa kamar mereka nantinya akan berada di lantai atas, dan perabotannya akan disesuaikan dengan preferensi sang anak.
Demikian pula, kepada istrinya, ia mungkin memberitahu bahwa akan dibuatkan kitchen set agar semangat istrinya dalam memasak semakin bertambah.
Penting untuk dicatat bahwa pada kenyataannya, rumah tersebut hanya terlihat dalam iklan (baik berupa poster atau video), dan tanah tempat rumah tersebut akan dibangun mungkin masih berupa lahan kosong.
Meskipun begitu, sang ayah atau suami sudah membayangkan dan mengkomunikasikannya kepada keluarganya sejauh yang dijelaskan tadi.
Perlu diingat juga bahwa iklan menyampaikan pesan tertentu, namun seringkali seseorang cenderung mengambilnya secara berlebihan sehingga pesan asli dari iklan tersebut dapat terdistorsi.
Sebagai contoh, ketika melihat video kelompok tentara yang sedang melakukan latihan dengan senjata di hutan, seorang individu mungkin segera mengklaim bahwa sedang terjadi perang, padahal sebenarnya tentara itu hanya sedang berlatih.
Mentalitas konsumtif dapat menimbulkan tekanan psikologis. Seseorang mungkin merasa cemas jika tidak berhasil memenuhi kebutuhannya, karena khawatir kegagalan tersebut akan mengakibatkan ketidakdiakuiannya oleh komunitasnya.
Dalam konteks ini, konsumsi tidak hanya berperan sebagai pemenuhan kebutuhan, tetapi juga menentukan fungsi sosial dan menghasilkan makna sebagai cara untuk mengekspresikan nilai-nilai, dengan standar kebahagiaan diukur oleh "kesamaan" atas sesuatu.
Proses konsumsi simbolis menjadi pembentuk gaya hidup, dan suatu benda dianggap berharga ketika menjadi tanda integrasi sosial. Tanda tersebut merupakan kekuatan kolektif yang diindividualisasikan.
Seseorang yang memiliki sumber daya finansial mungkin merasa memiliki kebebasan dan tidak terikat saat melakukan pembelian, meskipun pada kenyataannya pilihan konsumsinya telah dikondisikan sesuai dengan selera kelasnya.
Dengan kata lain, konsumsi bukan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan, melainkan juga sebagai respons terhadap tuntutan yang diterima dari komunitasnya.
Logika Hasrat dan Simbol dalam Konsumsi
Logika hasrat dapat diilustrasikan melalui situasi di mana seseorang memutuskan untuk membeli jam yang serupa dengan milik temannya. Namun, setelah memperoleh jam yang sama, ia merasa perlu untuk menggantinya dengan yang lebih berkualitas dan mewah.
Contoh lainnya adalah ketika seseorang mengajak temannya makan di warung tegal (warteg), dan temannya menolak dengan alasan kekhawatiran terhadap masalah kesehatan (higienis). Padahal, sebenarnya motivasi di balik penolakan tersebut adalah untuk menunjukkan perbedaan kelas yang mencerminkan perbedaan kebutuhan.
Sementara itu, logika simbol dapat diilustrasikan melalui kasus seorang karyawan di suatu perusahaan yang memutuskan untuk membeli mobil dengan merek Ferrari, sama seperti yang dimiliki bosnya.
Ketika bos mengetahui hal tersebut, karyawan tersebut malah mengalami perlakuan negatif. Dalam konteks ini, simbol "mobil Ferrari" dianggap mewakili kelas atas, dan hanya bos yang dianggap berhak untuk memiliki kendaraan tersebut.
Oleh karena itu, pelanggaran terjadi ketika seseorang melanggar batasan status yang ada. Baudrillard menyebutnya sebagai nilai tanda (hasrat) dan nilai simbol sebagai mekanisme dalam konsumsi.
Ideologi Konsumsi: Antara Pencitraan dan Kehilangan Realitas
Konsumsi seolah menjadi sebuah ideologi yang memiliki peran dalam menyatukan masyarakat, meskipun pada kenyataannya penuh dengan pencitraan.
Individu-individu terlibat dalam mengonsumsi bukan karena esensi (kebutuhan aktual), tetapi lebih pada permukaannya. Sebagai contoh, ketika berbicara tentang ketampanan, seseorang mungkin dengan spontan menjadikan Jefrry Nichol sebagai panutan.
Begitu juga ketika berbicara tentang tubuh ideal bagi perempuan, seseorang mungkin langsung menjadikan Inul Daratista sebagai modelnya. Namun, perlu dicatat bahwa semua pandangan ini telah dikonstruksi oleh masyarakat, bukan karena nilai intrinsik dari ketampanan atau tubuh ideal itu sendiri.
Iklan-iklan cenderung menggambarkan sesuatu yang "melampaui" realitas, dan di sinilah konsep benar dan salah tampaknya kehilangan relevansinya. Ini disebabkan oleh kurangnya fokus pada peningkatan kualitas hidup dan pengembangan kehidupan ke depannya.
Sebaliknya, masyarakat lebih cenderung menuju pemenuhan kebahagiaan instan. Seseorang mungkin tidak lagi melihat iklan sebagai media untuk melihat realitas, melainkan mematuhi iklan tersebut tanpa pertimbangan yang mendalam.
Iklan-iklan tidak muncul karena para agen yang menyebarkannya bermaksud untuk merayu pelanggan, melainkan tampaknya karena adanya pelanggan yang cenderung suka tertipu, karena kurangnya kesadaran, ketidakterorganisasian, dan sifat yang cenderung soliter.
Iklan menjadi seperti ajaran yang membuat individu kehilangan kemampuan untuk berpikir dan belajar, melainkan lebih cenderung untuk menggantungkan harapan. Sebagai contoh, iklan obat penurun berat badan dengan gambar dan keterangan "sebelum-dan-sesudah" seharusnya didekati dengan pikiran kritis.
Pertanyaan-pertanyaan seperti apakah gambar tersebut telah mengalami pengeditan, apakah foto setelah menggambarkan seseorang yang kurus diambil sebelum ia menjadi gemuk, atau apakah itu orang yang berbeda namun terlihat mirip, seharusnya menjadi pertimbangan yang mendalam.
Di sinilah hal-hal tersebut perlu dipertimbangkan agar seseorang tidak mudah tertipu dan tidak terperangkap dalam pandangan yang disajikan oleh iklan.
Simulasi dan Hipperealitas: Menguak Dimensi Representasi
Simulasi merupakan representasi dari suatu objek yang pada akhirnya menjadi objek itu sendiri. Representasi dianggap lebih signifikan daripada keberadaan objek sebenarnya. Simulasi hadir untuk memastikan bahwa hal-hal yang direpresentasikan dapat diaplikasikan dalam konteks yang nyata, menghasilkan realitas yang melampaui batas, yang disebut sebagai "hipperealitas".
Sebagai contoh, kunjungan seseorang ke Dufan mungkin memberikan kesan bahwa orang dewasa berada di tempat yang semula disimulasikan untuk anak-anak. Namun, kenyataannya, di tempat tersebut orang dewasa dapat merasakan kegembiraan anak-anak, dan dengan demikian, jiwa kekanak-kanakan terlihat tersebar di berbagai tempat.
Baudrillard mengidentifikasi empat tahap dalam proses pencitraan: pertama, representasi (gambaran sebagai cerminan dari realitas); kedua, citra digunakan sebagai cara untuk menyembunyikan dan memalsukan realitas tertentu; ketiga, citra menggambarkan hilangnya realitas (seperti ketika pemandangan luar jendela tertutup oleh gambar pemandangan); keempat, tidak ada lagi hubungan yang jelas antara citra dan realitas yang mendasarinya.