Menghadapi Pemilihan 2024: Menguak Ancaman Polaritas Sosial dan Panggilan Bersatu untuk Masa Depan Indonesia

Indonesia merayakan hasil Pemilihan dengan haru dan ketegangan. Ancaman polarisasi sosial mengintai, memerlukan panggilan bersatu untuk masa depan.

Selamat atas Pemilihan 2024. Akhirnya, perayaan demokratis telah berakhir. Rakyat Indonesia telah membuat pilihannya, dan hasil quick count kini tersedia untuk semua orang. Namun, apa yang ditampilkan dalam quick count bukanlah referensi final, karena penghitungan suara sesungguhnya masih menunggu rilis oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) setelah proses penghitungan suara selesai. Ini berarti semua kemungkinan tetap terbuka, termasuk kemungkinan terjadinya kekacauan dan polarisasi sosial.

Lalu, apa yang akan terjadi selanjutnya? Tentu saja, akhir pemilihan tidak menandakan periode ketenangan. Jika melihat kembali Pemilihan 2019, setelah Prabowo kalah dan menolak menerima hasilnya, ia menggerakkan pendukungnya untuk melakukan demonstrasi, yang berujung pada bentrokan dan korban jiwa. Sayangnya, Prabowo tidak lama setelah itu bergabung dengan rivalnya, Jokowi, dan meninggalkan rakyat. Sungguhlah kejam Prabowo!

Namun, dari rakyat yang ditinggalkan bersama dengan harapan mereka, ada pelajaran penting yang harus diingat, yaitu bahwa "Pemilihan tidak boleh menjadi sumber polarisasi." Ketika rakyat terbagi menjadi dua faksi, "cebong" dan "kampret," politisi yang menjadi sumber polarisasi dengan nyaman memperoleh kekuasaan. Alih-alih tenggelam bersama rakyat, rakyat dibiarkan dalam pertikaian internal.

Siapa yang kalah? Tidak ada. Rakyat diperdaya oleh politisi licik, sementara Indonesia terus mengalami polarisasi antara "cebong" dan "kampret" bertahun-tahun setelah pemilihan. Oleh karena itu, jangan biarkan hal ini terulang. Biarkan para politisi bertengkar di antara mereka sendiri, tetapi rakyat harus bersatu dan harmonis. Hentikan polarisasi! Rakyat harus bersatu karena pemilihan bukanlah platform untuk memperbesar perpecahan.

Pemilihan dan Pemecahan

Mengapa polarisasi terjadi? Ini menarik untuk dianalisis. Di Indonesia, pembagian dan faksionalisme disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, pemilih dan politisi sangat dipolarisasi secara ideologis. Dengan kata lain, mereka percaya dan memilih berbagai kebijakan yang berbeda—dengan sedikit tumpang tindih. Trend ini terus berkembang melalui beberapa pemilihan.

Kedua, orang secara emosional rentan terhadap polarisasi. Dalam psikologi, ini dikenal sebagai polarisasi afektif. Mereka tidak menyukai anggota partai lain sampai pada tingkat yang menyebabkan penurunan signifikan dalam demokrasi atau kekerasan politik. Masalahnya adalah, bukan hanya emosi yang dipolarisasi. Perasaan ini berinteraksi dengan sistem pemungutan suara, insentif dari kandidat, dan hubungan personal para pemilih.

Namun, polarisasi afektif tidak secara langsung menyebabkan kekerasan politik. Ini berkontribusi pada kemungkinan bagi politisi untuk memperkeruh kekerasan yang menargetkan pejabat atau kelompok minoritas. Dua faktor ini, ideologi, dan emosi, menentukan retakan horizontal—menjadi sisa-sisa dari pemilihan itu sendiri. Sisa-sisa demokrasi bahkan dapat bertahan hingga pemilihan berikutnya.

Antara pemilihan dan pemecahan, mereka seringkali tak terpisahkan. Oleh karena itu, yang dapat dilakukan bersama-sama adalah kesadaran interpersonal dan bahkan politik bahwa pemerintahan bukanlah satu-satunya ungkapan dari negara. Harmoni di atas segalanya, melampaui segala kepentingan. Harmoni sosial adalah kunci kedaulatan sebuah bangsa. Oleh karena itu, setelah pemilihan ini selesai, hindari pembagian dan bersatu. Bersatulah!

Bersatu!

Faktanya adalah bahwa rakyat hanya dilihat sebagai suara pemilihan semata. Bagi Prabowo dan bahkan Gibran, misalnya, representasi suara ini tidak lebih dari sekadar alat untuk mendapatkan kekuasaan. Setelah menduduki posisi tertinggi, mereka akan melupakan dan mengabaikan, mengejar kepentingan pribadi tanpa mempedulikan rakyat. Jadi, mengapa bertengkar di antara kita sendiri ketika rakyat tidak bisa berbuat apa-apa?

Dengan kata lain, pemimpin politik hanya melihat rakyat sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan, tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan aspirasi mereka. Tidak cukup perhatian terhadap kesejahteraan dan kepentingan rakyat. Setelah mendapatkan kekuasaan, mereka melupakan janji-janji kepada rakyat dan malah fokus pada kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu. Atau bahkan kepentingan remeh-temeh mereka sendiri.

Dalam konteks ini, bertengkar di antara sesama warga adalah kebodohan. Oleh karena itu, semua pihak harus bekerja sama untuk berjuang demi kepentingan bersama untuk mewujudkan perubahan positif bagi masyarakat Indonesia itu sendiri. Melalui kerja sama dan persatuan ini, rakyat menjadi kekuatan dalam mendorong para pemimpin untuk bertanggung jawab dan memenuhi janji-janji mereka.

Setelah pemilihan, bukanlah waktu untuk mengalami polarisasi, tapi saatnya untuk mengingatkan para pemimpin dan wakil-wakil bahwa mereka adalah pelayan publik yang harus berjuang untuk kepentingan rakyat, bukan hanya kepentingan pribadi atau kelompok spesifik. Bukan untuk memperkaya diri sendiri dan mengisi perut mereka sendiri saja. Bersatu agar aspirasi rakyat didengar dan penguasa tidak bertindak sewenang-wenang. Hentikan polarisasi!

Wallahu A'lam bi ash-Shawab

Admin

Sabda Literasi Palu

Platform yang menawarkan artikel dengan pemikiran filosofis mendalam, koleksi ebook eksklusif dan legal, serta layanan penyelesaian tugas kuliah dan sekolah yang terpercaya.

Rekomendasi Artikel

Produk Kami